.

.

Jumaat, 15 Februari 2019

KEADAAN WALI ALLAH SETELAH WAFAT

KEADAAN WALI ALLAH SETELAH WAFAT


Pernyataan Asy-Syaikh As-Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad:

قال الشيخ السيد عبد الله بن علوي الحداد رضي الله عنه : ان الأخيار اذا ماتوا لم تفقد منهم الا أعيانهم وصوارهم واما حقائقهم فموجودة فهم أحياء في قبورهم , واذا كان الولى حيا في قبره فإنه لم يفقد شيأ من علمه وعقله وقواة الرحانية بل تزداد أرواحهم بعد الموت بصيرة وعلما وحياة الرحانية وتوجها إلى الله , فإذا توجهت أرواحهم إلى الله تعالى في شيء قضاه سبحانه وتعالى وأجراه إكراما لهم
سراج الطالبين للشيخ إحسان بن محمد دحلان الجمفسي الكديري ج 1 ص 466.

Asy-Syaikh As-Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad radliyallahu’anhu berkata : Sesungguhnya orang-orang pilihan (waliyullah) jika mereka wafat, tidak hilang dari mereka kecuali hanya jasad dan bentuknya saja. Adapun hakekatnya, mereka hidup dalam kubur mereka. Dan ketika seorang wali itu hidup dalam kubur mereka, sesungguhnya tidak lepas dari diri mereka sedikit pun ilmu, aqal, dan kekuatan ruhani mereka. Bahkan bertambahlah pada arwah-arwah mereka bashirah, ilmu, kehidupan ruhaniyyah, dan tawajjuh mereka kepada Allah setelah kematian mereka. Dan jika arwah-arwah mereka bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dalam suatu hal (hajat), maka Allah Ta’ala pasti memenuhinya dan mengabulkannya sebagai kehormatan bagi mereka.  (Kh As'ad)



*ﷻواللہ اعلم بالصواب

Siapakah Dia Wali Allah

اللھم صلی علی سیدنا محمد والہ وسلم
Siapakah Dia Wali Allah
Arif Billah Alhabib Ali bin Jakfar Alaydrus 
                               


Hiasan Photo  Al Arif Billah Alhabib Ali bin Jakfar Alaydrus rahimahullah, Batu Pahat. dan Ayahnda nya Habib Jakfar Bin Ahmad Alaydrus rahimullah
firman Allah dalam hadits qudsi berikut ini :
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِ وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ بِذِكْرِ وأُذْكَرُ بِذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya para Wali-Ku dari golongan hamba-Ku dan para Kekasih-Ku dari golongan makhluk-Ku adalah orang-orang yang diingat apabila Aku diingat. Dan Aku diingat apabila mereka diingat. (HR. at Tabrani, al Hakim dan Abu Na’im)

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka itu ialah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Dan bagi mereka diberi berita gembira di dalam kehidupan dunia dan akhirat”6
6 Surah Yunus: 62- 64

 Sabda Nabi S.A.W:

لا يدخل النار مسلم رأنى , ولا من رأى من رأنى ولا من رأى من رأنى أى ولو بسبعين واسطة فانهم خلفائى فى التبليغ والارشاد ءان استقاموا على شريعتى .
Maksudnya:

Tidak akan masuk neraka orang (Islam) yang telah melihat aku (Nabi Muhammad) dan tidak juga akan masuk ke neraka orang yang melihat akan orang yang telah melihat aku dan tidak akan masuk ke neraka orang yang melihat muka-muka orang yang melihat kamu, iaitu walaupun (sampai) kepada tujuh puluh wasitah (lapisan keturunan). Sesungguhnya mereka itu adalah khalifahku dalam menyampaikan (ajaran Islam) dan asuhan Islam, sekiranya mereka itu sentiasa istiqamah dalam syariatku. 
 Dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah SAW telah bersabda: 

" Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman : Barangsiapa yang memusuhi waliKu ( orang yang setia padaku ), maka sesungguhnya aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada seorang hambaku yang bertaqarrub ( beramal ) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Ku cintai hanya dari ia menunaikan semua yang ku fardhukan ke atas dirinya. Dan hendaklah hambaKu sentiasa bertaqarrub dirinya kepadaKu dengan nawafil ( ibadat sunat ) sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, nescaya adalah Aku sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan sebagai penglihattannya yang ia melihat dengannya, dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya, dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya. Dan sekiranya ia meminta kepadaKu nescaya Aku berikan kepadanya, dan sekiranya ia memohon perlindungan kepadaKu nescaya Aku lindungi ia”

 Dalam hadits qudsi, Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya
TANDA-TANDA WALI ALLAH
1. Jika melihat mereka, akan mengingatkan kita kepada Allah swt.
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingati mereka.”10
10 Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6
Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah saw ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika
dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”11
11 Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6).

Sabda Nabi S.A.W:
خياركم من ذكركم الله رؤيته وزاد علمكم منطقه وغربكم فى اللآخرة عمله .

Maksudnya:
Orang yang sebaik-baiknya di kalangan kamu itu ialah orang yang mengingatkan kamu kepada Allah S.W.T. dengan memandang (rupanya) dan percakapannya akan menambahkan ilmu kamu dan amalannya mendorongkan kamu cintakan hari akhirat. 


2. Jika mereka tiada, tidak pernah orang mencarinya.
Dari Abdullah Ibnu Umar Ibnu Khattab, katanya: “Pada suatu kali Umar mendatangi tempat Mu’adz ibnu Jabal ra, kebetulan ia sedang menangis, maka Umar berkata: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Mu’adz?” Kata Mu’adz: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang yang paling dicintai Allah adalah mereka yang bertakwa yang suka menyembunyikan diri, jika mereka tidak ada, maka tidak ada yang mencarinya, dan jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Mereka adalah para imam petunjuk dan para pelita ilmu.”12
12 Hadis riwayat Nasa’i, Al Bazzar dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah jilid I hal. 6

3. Mereka bertakwa kepada Allah.
Allah swt berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.. Dan bagi mereka
diberi berita gembira di dalam kehidupan dunia dan akhirat”13
Abul Hasan As Sadzili pernah berkata: “Tanda-tanda kewalian seseorang adalah redha dengan qadha, sabar dengan cubaan, bertawakkal dan kembali kepada Allah ketika ditimpa bencana.”14
13 Surah Yunus: 62 – 64
14 Hadisriwayat.Al Mafakhiril ‘Aliyah hal 104

4. Mereka saling menyayangi dengan sesamanya.
Dari Umar Ibnul Khattab ra berkata:
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya sebahagian hamba Allah ada orang-orang yang tidak tergolong dalam golongan para nabi dan para syahid, tetapi kedua golongan ini ingin mendapatkan kedudukan seperti kedudukan mereka di sisi Allah.”
Tanya seorang: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka dan apa amal-amal mereka?” Sabda beliau: “Mereka adalah orang-orang yang saling kasih sayang dengan sesamanya, meskipun tidak ada hubungan darah mahupun harta di antara mereka. Demi Allah, wajah mereka memancarkan cahaya, mereka berada di atas mimbarmimbar dari cahaya, mereka tidak akan takut dan susah.”
Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”15
15 Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I, hal 5


5. Mereka selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah saw
bersabda:
“Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.”16
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal kerana takut akan shubhahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah saw menangis kerana rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat.”17


Sheikh Abu Zaki As-Sanggafori


Khamis, 14 Februari 2019

MAHABBAH

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ayat 31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

MAHABBAH 

1. PENGERTIAN

Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.

Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawwuf yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhaniah pada Tuhan.

Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.

Harun Nasution mengatakan mahabbah adalah cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan, antara lain sebagai berikut:

a. memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala – galanya kecuali dari yang dikasihi yaitu Tuhan.

Dilihat dari tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj sebagai dikutip Harun Nasution ada tiga macam yaitu:
1. mahabbah orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2. mahabbah orang shidiq, yaitu cinta orang yang kenal pada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain.
3. mahabbah orang yang arif adalah cinta yang tahu betul kepada Tuhan.
Dari uraian tersebut disimpulkan mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.

2. Tujuan Mahabbah

Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.

3. Kedudukan Mahabbah

Al mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.

B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah

Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir. Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:

1. Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan.



Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.

Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan.

Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:

Artinya: mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-isra’: 85).

Selanjutnya Rasulullah saw juga telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim yang artinya:

“sesungguhnya manusia dilakukan penciptaaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah(segumpal darah), kemudian menjadi alaqah(segumpal daging) pada waktu juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu 40 hari juga, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”

C. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah

Tokoh yang memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah. Ia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 M, ada juga yang menyebutkan ia meninggal pada tahun 185/796 M. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Selain itu juga ia betul – betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah swt dan selalu menolak lamaran pria salih.

Diantara doa dari Rabiatul Adawiyah : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena harap akan syurga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu”.

D. Mahabbah Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Ada banyak ayat – ayat dalam alqur’an menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Diantaranya :

Artinya: “jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. (QS. Al-imran: 30).

Artinya:”Allah akan mendatangkan suatu ummat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”. (QS. Al-Maidah: 54).



Di dalam hadits juga disebutkan: 

ﻮﻻﻴﺰﺍﻞﻋﺒﺩﻯﻴﺘﻘﺮﺐﺇﻠﻲﺒﺎﻟﻨﻮﺍﻔﻞﺤﺘﻰﺍﺤﺒﻪﻮﻣﻦﺍﺤﺒﺒﺘﻪﻜﻨﺖﻟﻪﺳﻣﻌﺎﻮﺑﺼﺮﺍﻮﻴﺪﺍ
Artinya:”hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta kepada-Nya. Orang yang Ku cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.

Ayat dan hadits di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh yang berasal dari Tuhan. anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

kiriman dari Hj Shamsun Serkam Melaka

Selasa, 5 Februari 2019

Tok Pulau Manis - Penterjemah Kitab Hikam

Tok Pulau Manis

Syeikh Abdul Malik atau lebih dikenali Tok Pulau Manis  dilahirkan di Kampung Pauh, Hulu Terengganu pada tahun 1060an/1650an, berketurunan Sharif Mohammad, yang berasal dari Baghdad. Menerima pendidikan agama diperingkat awal dari kaum keluarganya sendiri. Syeikh Abdul Malik kemudiannya belajar di Aceh yang digelar “Serambi Mekah. Adalah dipercayai beliau telah menerima pendidikan secara langsung dari ulama besar Acheh, Syeikh Abdul Rauf Singkel (1030-1050/1620-1693) yang juga seorang tokoh yang berusaha membawa kepada pengukuhan terhadap aliran al-Sunnah wal Jamaah di alam Melayu. Beliau telah menyalin kitab Tafsir Baydawi yang dikarang dalam Bahasa Melayu oleh Syeikh Abdul Rauf Singkel. Selanjutnya beliau menyambung pengajian di Mekah sekitar tahun 1680, ketika beliau dipercayai berumur 30 tahun. Selama hampir satu dekad di Mekah, beliau telah berguru dengan ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim al-Kurani (1025-1011/1616-1690), yang juga menjadi guru kepada Syeikh Abdul Rauf Singkel, bersahabat dengan pelajar-pelajar yang seangkatan dan seperjuangan dengannya seperti Tuan Haji Mohd Salleh bin Omar al-Semarani dari Jawa, Dato’ Syed Abdullah dari Terengganu, Fakeh Abdul Kadir Palimbang, Fakeh Abdul Rahman Patani, Fakeh Abdul Samad Kedah dan Haji Mohamad Siantan dan mengajar apabila terdapat peluang berbuat demikian. 



Syeikh Abdul Malik sendiri, sebelum pemergiannya ke Tanah Suci sudah pun mendalami beberapa bidang ilmu tersebut. Ilmuan yang menjadi rujukannya berjumlah tidak kurang dari 143 orang, diantara yang terpenting di kalangan mereka itu ialah Ibn ‘Athaillah dan Abu al-Hasan al-Shadhili sendiri, Abu al-Abbas al-Mursi, Ibn Arabi, Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Abd Allah al-Suhrawardi, Abu Turab al-Khashabi, Abu Yazid al-Bistami, Abu Talib al-Makki, Abu Hamid al-Gahzali, Abu al-Qasim al-Nasr Abadhi, Abu Bakar al-Shibli, Abu Nasr al-Sarrj, Ahmad al-Rifa’i, Ahmad Ibn Hanbal, iBn Abbad, Hassan Basari, Junayd al Baghdadi, Ahmad Zarruq, Shal bin Abdullah, Sirri al-Suqti, al-Sha’rani, Abd al-Salam bin Mashish dan Ma’ruf al-Karkhi. Selain itu, beliau juga banyak merujuk kitab Fusus al-Hikam oleh Ibnu Arabi, Qut al-Qulub oleh Abu Talib al-Makki, karya-karya al-Ghazali seperti Ihya Ulumuddin  dan Minhaj al-Abidin, al-Luma oleh Abu Nasar al-Sarraaj al-Tusi, alRi’ayat Li Huquq Allah dan Amal al-Qulub wa al-Jawarib oleh al-Harith al Mushasibi, Sharh terhadap Hikam berjudul Hikam Ibn ‘Athaillah atau Qurrat al-Ayn oleh Ahmad Zarruq dan Halat Ahl al Haqiqat Ma’a Allah oleh Ahmad al-Rifa’i.

Peranan Syeikh Abdul Malik sebagai pengajar di Mekah menyerupai penglibatan sebahagian penting ulama-ulama lain dari seluruh dunia yang menjadikan Tanah Suci sebagai pusat pendidikan. Pelajar-pelajar yang menjadi tumpuan beliau adalah mereka yang datang dari Tanah Jawi. Kedudukan Syeikh Abdul Malik di sini mempunyai persamaan dengan kedudukan ulama-ulama Jawi yang lain seperti Syeikh Daud bin Abdullah Fatani, Syeikh Abdul Samad Palimbang, Syeikh Mohamad Nawawi al-Bentani dan Syeikh Mohamad Khatib bi Abdul Latif Minangkabau. Sebagai guru yang amat meminati Tasawuf beraliran etika Ubudiyah yang diperolehi oleh Imam al-Ghazali, beliau juga memilih mengajar dengan menggunakan karangan-karangan yang menjadikan hasil karya Hujjatul Islam itu. Kitab-kitab yang dimaksudkan itu termasuklah Ihya Ulumuddin. Matan Hikam Ibnu Ata’ul-Lah yang dianggap sebagai lanjutan dari pendekatan etika Ubudiyyah al-Imam al-Ghazali juga ternyata mendapat perhatian istimewa dari Syeikh Abdul Malik.




Minat Syeikh Abdul Malik terhadap Matan Hikam diperkukuhkan lagi oleh permintaan sahabat-sahabatnya seperti terjelas dalam Hikam melayunya : (Dan) sanya telah meminta akan daku setengah saudaraku yang salik bahawa menterjemakan aku akan dia dengan bahasa Jawi supaya memberi manfaat dengan dia segala orang yang mubtadi, maka ku perkenankan atas yang demikina itu dengan sekira-kira yang difahamkan Allah Taala akan daku (dan) adalah au memanjangkan sedikit perkataannya kerana aku memasukkan perkataan sharahnya dengan sekadar kifayah bagi orang mubtadi mengetahui dia……?. Karangan di atas menunjukkan bahawa sahabat-sahabatnya di Mekah telah memintanya mengarang, sesuatu yang mencerminkan martabat kedudukannya di kalangan kawan-kawannya. Dengan penulisan tersebut Hikam Melayu merupakan sebuah kitab Tasawuf terbesar dan terawal menurut aliran ahli Sunnah wal-Jamaah di dalam Bahasa Melayu.

Adalah dipercayai bahawa Syeikh Abdul Malik pulang ke tanah air sekitar pertengahan tahun 1960an ketika berusia lebih kurang 40 tahun. Kehadirannya di dalam masyarakat tempatan, yang diperkukuhkan oleh Hikam Melayunya serta pertalian dengan pembesar tempatan di Negeri Terengganu. Malah disebabkan oleh pertalian Terengganu dengan Johor, peranan Syeikh Abdul Malik menjadi lebih penting lagi dalam kontek perkembangan sosial semasa. Mengikut sumber-sumber yang boleh dipercayai beliau dikatakan bertanggungjawab membawa dan menabalkan Zainal Abidin I menjadi sultan pemerintah Negeri Terengganu (1725-1734) yang berlangsung di Tanjung Baru. Raja tersebut juga telah berkahwin dengan anak perempuan Syeikh Abdul Malik. Apabila Syeikh Abdul Malik berpindah dari Hulu Terengganu dan menetap di Pulau Manis baginda juga telah turut sama berpindah dan menetap tempat yang baru sebelum memilih tempat persemayam tetapnya di Kuala Terengganu.

Syeikh Abdul Malik menjadi peneraju program pendidikan agama di Terengganu, sama ada selaku ulama istana atau sebagai guru kepada orang ramai. Di istana, Syeikh Abdul Malik berdampingan bukan sahaja dengan Sultan Zainal Abidin I tetapi juga dengan pembesar-pembesar yang turut berguru dengannya. Di dalam upacara keagamaan, beliau diberi peranan mengetuai majlis-majlis tersebut. Dalam penglibatannya sebagai Syeikh al-Ulama dan Mufti beliau mengeluar fatwa-fatwa berhubung dengan pegangan keIslaman dan hukum hakam. Dengan berpandukan pengalaman pengajian di Jawa, Aceh dan Mekah, beliau telah menjadikan Pulau Manis sebagai tempat pengajaran dan ibadat yang didatangi oleh pelajar-pelajar dari jauh dan dekat. Adapun kitab beliau yang kedua terbesar selepas Hikam Melayu, iaitu  Kitab Kifayah merupakan sebuah karya yang merangkumi Usuluddin dan Fekah. Syeikh Abdul Malik atau Tok Pulau Manis meninggal dalam lingkungan usia 86 tahun  iaitu pada  tahun 1149H bersamaan 1736 sebagaimana yang terakam pada makamnya. 

Salinan dari catatan 

AL FAKIR Muhammad Fazilul Helmi Raidzan