.

.

Jumaat, 24 Mei 2019

AQIDAH PARA SAHABAT DAN TABI'IN

AQIDAH PARA SAHABAT DAN TABI'IN


1. Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻵﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻋَﻠﻴْﻪ ﻛَﺎﻥَ
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

Beliau juga berkata:
ﺇﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻌَﺮْﺵَ ﺇْﻇﻬَﺎﺭًﺍ ﻟِﻘُﺪْﺭَﺗﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﺘّﺨِﺬْﻩُ ﻣَﻜَﺎﻧًﺎ ﻟِﺬَﺍﺗِﻪِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

2. Ibn `Abbas radiyallahu`anhuma telah berkata:
“ ﺗَﻔَﻜَّﺮُﻭْﺍ ﻓِﻲْ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻔَﻜَّﺮُﻭْﺍ ﻓِﻲْ ﺫَﺍﺕِ ﺍﻟﻠﻪِ ”.
“Hendaklah kalian berfikir tentang makhluk ciptaan Allah, namun jangan kalian fikirkan tentang zat Allah”. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya al-Asma’ wa al-Sifat

3. Seorang tabi’in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
ﺃﻧْﺖَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻻَ ﻳَﺤْﻮﻳْﻚَ ﻣَﻜَﺎﻥٌ
“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, juz 4, hlmn.380).

Beliau juga berkata:
ﺃﻧْﺖَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟّﺬِﻱ ﻻَ ﺗُﺤَﺪُّ ﻓَﺘَﻜُﻮْﻥَ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩًﺍ
“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, juz. 4, hlmn 380).

4. al-Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:
ﻣَﻦْ ﺯَﻋَﻢَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ ﺃﻭْ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ ﺃﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃﺷْﺮَﻙَ، ﺇﺫْ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﻻً ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣَﺤْﺼُﻮْﺭًﺍ ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻦْ ﺷَﻰﺀٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺪَﺛًﺎ ‏( ﺃﻯْ ﻣَﺨْﻠُﻮْﻗًﺎ )
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baru -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hlmn 6).
Image result for aqidah ahli sunnah
AQIDAH IMAM EMPAT MAZHAB
1 . al-Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓ، ﻭَﻳَﺮَﺍﻩُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨُﻮْﻥَ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨّﺔِ ﺑِﺄﻋْﻴُﻦِ ﺭُﺅُﻭﺳِﻬِﻢْ ﺑﻼَ ﺗَﺸْﺒِﻴْﻪٍ ﻭَﻻَ ﻛَﻤِّﻴَّﺔٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔ .
“Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” ( al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).

Juga berkata:
ﻗُﻠْﺖُ : ﺃﺭَﺃﻳْﺖَ ﻟَﻮْ ﻗِﻴْﻞَ ﺃﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟَﻪُ : ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺃﻳْﻦ ﻭَﻻَ ﺧَﻠْﻖٌ ﻭَﻻَ ﺷَﻰﺀٌ، ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞّ ﺷَﻰﺀٍ .
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Juga berkata:
ﻭَﻧُﻘِﺮّ ﺑِﺄﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻟَﻪُ ﺣَﺎﺟَﺔٌ ﺇﻟﻴْﻪِ ﻭَﺍﺳْﺘِﻘْﺮَﺍﺭٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﻫُﻮَ ﺣَﺎﻓِﻆُ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﻣِﻦْ ﻏَﺒْﺮِ ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﺝٍ، ﻓَﻠَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﻟَﻤَﺎ ﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ ﺇﻳْﺠَﺎﺩِ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻢِ ﻭَﺗَﺪْﺑِﻴْﺮِﻩِ ﻛَﺎﻟْﻤَﺨْﻠُﻮﻗِﻴَﻦْ، ﻭَﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺤْﺘَﺎﺟًﺎ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﺠُﻠُﻮْﺱِ ﻭَﺍﻟﻘَﺮَﺍﺭِ ﻓَﻘَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺃﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ .
“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak memerlukan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa memerlukan kepada itu semua. Karena jika Allah memerlukan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika memerlukan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, hlmn 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).

2. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
( ﻓﺼﻞ ‏) ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮْﺍ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻟَﻪُ، ﻭَﺍﻟﺪّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻫُﻮَ ﺃﻥّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻛَﺎﻥَ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻓَﺨَﻠَﻖَ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﺻِﻔَﺔِ ﺍﻷﺯَﻟِﻴّﺔِ ﻛَﻤَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺗِﻪِِ ﻭَﻻَ ﺍﻟﺘَّﺒَﺪُّﻝُ ﻓِﻲ ﺻِﻔَﺎﺗِﻪِ، ﻭَﻷﻥّ ﻣَﻦْ ﻟَﻪُ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﻪُ ﺗَﺤْﺖٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻪُ ﺗَﺤْﺖٌ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣُﺘَﻨَﺎﻫِﻲ ﺍﻟﺬّﺍﺕِ ﻣَﺤْﺪُﻭْﺩًﺍ، ﻭَﺍﻟْﻤَﺤْﺪُﻭْﺩُ ﻣَﺨْﻠُﻮْﻕٌ، ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ، ﻭﻟِﻬﺬَﺍ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﺳْﺘَﺤَﺎﻝَ ﻋَﻠﻴْﻪ ﺍﻟﺰّﻭْﺟَﺔُ ﻭَﺍﻟﻮَﻟﺪُ، ﻷﻥّ ﺫﻟِﻚ ﻻَ ﻳَﺘِﻢّ ﺇﻻّ ﺑﺎﻟْﻤُﺒَﺎﺷَﺮَﺓِ ﻭﺍﻻﺗّﺼَﺎﻝِ ﻭﺍﻻﻧْﻔِﺼَﺎﻝ .
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, istri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, hlmn13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:
ﻓَﺈﻥْ ﻗِﻴْﻞ : ﺃﻟﻴْﺲَ ﻗَﺪْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ‏( ﺍﻟﺮّﺣْﻤﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ‏) ، ﻳُﻘَﺎﻝ : ﺇﻥّ ﻫﺬِﻩِ ﺍﻵﻳَﺔ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺘَﺸَﺎﺑِﻬَﺎﺕِ، ﻭَﺍﻟّﺬِﻱْ ﻧَﺨْﺘَﺎﺭُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﺏِ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻭَﻋَﻦْ ﺃﻣْﺜَﺎﻟِﻬَﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﻻَ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺍﻟﺘّﺒَﺤُّﺮ ﻓِﻲ ﺍﻟﻌِﻠْﻢِ ﺃﻥْ ﻳُﻤِﺮَّ ﺑِﻬَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺟَﺎﺀَﺕْ ﻭَﻻَ ﻳَﺒْﺤَﺚُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻭَﻻَ ﻳَﺘَﻜَﻠّﻢُ ﻓﻴْﻬَﺎ ﻷﻧّﻪُ ﻻَ ﻳَﺄﻣَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻮُﻗُﻮْﻉِ ﻓِﻲ ﻭَﺭَﻃَﺔِ ﺍﻟﺘّﺸْﺒِﻴْﻪِ ﺇﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺭَﺍﺳِﺨًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﺃﻥْ ﻳَﻌْﺘَﻘِﺪَ ﻓِﻲ ﺻِﻔَﺎﺕِ ﺍﻟﺒَﺎﺭِﻱ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻣَﺎﺫَﻛَﺮْﻧَﺎﻩُ، ﻭَﺃﻧّﻪُ ﻻَ ﻳَﺤْﻮﻳْﻪِ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻭَﻻَ ﻳَﺠْﺮِﻱ ﻋَﻠﻴْﻪِ ﺯَﻣَﺎﻥٌ، ﻣُﻨَﺰَّﻩٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺤُﺪُﻭْﺩِ ﻭَﺍﻟﻨّﻬَﺎﻳَﺎﺕِ، ﻣُﺴْﺘَﻐْﻦٍ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥِ ﻭَﺍﻟْﺠِﻬَﺎﺕِ، ﻭَﻳَﺘَﺨَﻠَّﺺُ ﻣِﻦ َﺍﻟﻤَﻬَﺎﻟِﻚِ ﻭَﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ .
“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kepakaran dalam bidang ini agar supaya mengimaninya dan tidak secara menghalusil membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kepakaran dalam hal ini ia tidak akan membawa kupasan yang sempurna, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak memerlukan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, hlmn 13).

3 . Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.
“ ﻭَﺃَﻧْﻜَﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺑِﺎﻟْـﺠِﺴْﻢِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺳْـﻤَﺎﺀَ ﻣَﺄْﺧُﻮْﺫَﺓٌ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ ﻭَﺍﻟﻠُّﻐَﺔِ . ﻭَﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟﻠُّﻐَﺔُ ﻭَﺿَﻌُﻮْﺍ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻻِﺳْﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺫِﻱْ ﻃَﻮْﻝٍ ﻭَﻋَﺮْﺽٍ ﻭَﺳَـﻤْﻚٍ ﻭَﺗَﺮْﻛِﻴْﺐٍ ﻭَﺻُﻮْﺭَﺓٍ ﻭَﺗَﺄْﻟِﻴْﻒٍ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺧَﺎﺭِﺝٌ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻠِّﻪِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳـَﺠُﺰْ ﺃَﻥْ ﻳُﺴَﻤَّﻰ ﺟِﺴْﻤًﺎ ﻟِـﺨُﺮُﻭْﺟِﻪِ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟْـﺠِﺴْﻤِﻴَّﺔِ ﻭَﻟَـﻢْ ﻳَـﺠِﺊْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﺒَﻄَﻞَ ”.
” Beliau [Imam Ahmad bin Hanbal] mengingkari mereka yang menyifatkan Tuhan dengan kejisiman. Beliau berkata: Sesungguhnya, nama-nama itu diambil daripada syariat dan bahasa. Adapun ahli bahasa [Arab] meletakkan nama tersebut -jisim- dengan maksud, sesuatu yang ada ukuran ketinggian, ukuran lebar, tersusun dengan beberapa anggota, mempunyai bentuk dan sebagainya, sedangkan Allah di luar daripada yang demikian [tidak mempunyai cantuman, anggota dan sebagainya] Maka, tidak boleh dinamai Allah sebagai Jisim karena Allah di luar [terkeluar dari] makna kejisiman [tidak beranggota, tiada ukuran, tiada bentuk dan sebagainya] dan syariat tidak pernah menyebut tentang perkara tersebut [penyamaan Dzat Allah dengan jisim] maka batallah [fahaman Tajsim atau Allah berjisim]”. Manaqib al-Imam Ahmad oleh al-Imam al-Baihaqi dan rujuk I`tiqad al-Imam al-Mubajjal Ibn Hanbal, hlmn. 294-295.

Juga berkata :
“ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ - ﺃَﻱْ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْـﻤَﺪُ - ﻓِﻲْ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﺍﻻِﺳْﺘِﻮَﺍﺀِ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻌَﻠُﻮُّ ﻭَﺍﻻِﺭْﺗِﻔَﺎﻉُ ﻭَﻟَـﻢْ ﻳَﺰَﻝِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﺎﻟِﻴًﺎ ﺭَﻓِﻴْﻌًﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﻋَﺮْﺷَﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻓَﻮْﻕَ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻲْ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ … ﻋَﻼ ﻭَﻟَﺎ ﻳَـﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯْ ﺑِـﻤُﻤَﺎﺳَﺔٍ ﻭَﻻ ﺑِـﻤُﻠَﺎﻗَﺎﺓٍ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋُﻠُﻮًّﺍ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻟَـﻢْ ﻳَﻠْﺤِﻘْﻪُ ﺗَﻐْﻴِﻴْﺮٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳْﻞٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻠْﺤَﻘُﻪُ ﺍﻟْـﺤُﺪُﻭْﺩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ”.
“Telah berkata al-Imam Ahmad pada menjelaskan tentang makna istawa yaitu ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Allah ta`ala sentiasa Maha Tinggi dan Maha Tinggi [derajat-Nya] sebelum Dia menciptakan `Arasy. Dia di atas setiap sesuatu dan Maha Tinggi [kedudukan-Nya] daripada setiap sesuatu… Tidak boleh seseorang berkata bahwa, istawa itu zat Allah ta`ala menyentuh `Arasy atau menempatinya. Maha Suci Allah ta`ala daripadanya [bertempat] setinggi-tinggi-Nya. Dia tidak akan berubah-ubah, tidak dibatasi dengan batasan sebelum penciptaan `Arasy dan setelah kejadian [terciptanya] `Arasy tersebut”. (Abu al-Fadhl al-Tamimi , Risalah al-Tamimi,, juz. 2, hlmn.265/290.)

4 . Al-Imam Malik perintis madzhab maliki pernah ditanya tentang makna “Istawa” seperti yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya al-Asma’ Wa al–Sifat:
“ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﻋَﺒْﺪ ِﺍﻟﻠﻪِ : ﺍﻟﺮَّﺣْﻤـَــــٰﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯْ ﻛَﻴْﻒَ ﺍﺳْﺘِﻮَﺍﺅُﻩُ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﺄَﻃْﺮَﻕَ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﻭَﺃَﺧَﺬَﺗْﻪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻀَﺎﺀَ ﺛُـﻢَّ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍﻟﺮَّﺣْـﻤَـٰﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯْ ﻛَﻤَﺎ ﻭَﺻَﻒَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ، ﻭَﻟَﺎ ﻳُﻘَﺎﻝُ ﻛَﻴْﻒَ ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﻋَﻨْﻪَ ﻣَﺮْﻓُﻮْﻉٌ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺟُﻞٌ ﺳُﻮْﺀٌ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺃَﺧَﺮَﺟُﻮْﻩُ . ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺄَﺧْﺮُﺝَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ”.
“Wahai Abu Abdillah: “Al-Rahman beristawa ke atas Arasy”, bagaimana Dia istawa? Maka al-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudian beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Al-Rahman beristawa ke atas Arasy seperti Dia sifatkan diri-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana [istiwa`-Nya] dan kaif [bagaimana istiwa`-Nya] diangkat daripada-Nya [tidak ada bagi-Nya kaif]. Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi” . (Al-Imam al-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fi al-`Arsy wa al-Kursi, Dar Al-Jail Beirut, hlmn. 568 ).
Dan riwayat yang lain sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam al-Baihaqi imam malik berkata :
“ ﺍﻻِﺳْﺘِﻮَﺍﺀُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَـﺠْﻬُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻟْﻜَﻴْﻒُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻌْﻘُﻮْﻝٍ، ﻭَﺍﻟْﺈِﻳْـﻤَﺎﻥُ ﺑِﻪِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻭَﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ”.
“Al-Istiwa’ tidak dijahilkan [yaitu diketahui ia daripada al-Quran] dan Kaif [bagaimana istiwa-Nya] tidak diakalkan [yaitu tidak boleh diterima akal] dan beriman dengannya [istiwa` Allah ta`ala ke atas Arasy] wajib dan bertanya tentangnya [bagaimana istiwa-Nya] adalah bid`ah”.

dari petikan kiriman MUJAHID ASWAJA




Tiada ulasan:

Catat Ulasan